10 kasus ancaman terhadap pers di dunia



Jakarta (Antara) – Kebebasan pers adalah pilar penting dari demokrasi dan hak asasi manusia yang tidak dapat diremehkan. Pers bertindak sebagai penjaga nilai -nilai kebenaran, pengiriman informasi kepada publik, dan mengendalikan kekuatan untuk tetap berada di koridor yang tepat.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perjuangan untuk mempertahankan kebebasan pers masih penuh dengan tantangan dan ancaman serius. Wartawan sering kali menjadi korban penindasan, intimidasi, dan kekerasan fisik hanya karena mereka berani menyuarakan fakta yang dianggap mengganggu kepentingan kelompok yang berkuasa.

Advertisement

Pemerintah otoriter sering membungkam suara kritis pers dengan dalih menjaga stabilitas negara. Ini mencerminkan penyalahgunaan kekuasaan yang menodai nilai -nilai demokrasi.

Namun, di berbagai belahan dunia, jurnalis masih menghadapi ancaman serius dalam melaksanakan tugas mereka untuk menyampaikan kebenaran kepada publik. Berikut adalah sepuluh kasus ancaman terhadap pers di dunia yang menunjukkan bahwa perjuangan untuk kebebasan pers masih panjang.

1. Ahmet Altan (Türkiye)

Ahmet Altan, seorang jurnalis senior Turki yang berusia 70 tahun, telah lebih dari 1.500 hari penjara. Altan, mantan pemimpin redaksi tahun -tahun yang telah ditutup, ditangkap sejak September 2016. Pada tahun 2018, pengadilan menghukumnya penjara seumur hidup yang kemudian diubah menjadi 10,5 tahun pada 2019

2. Mahmoud Hussein Gomaa (Mesir)

Mahmoud Hussein Gomaa telah mengalami penahanan selama sembilan tahun sejak 2016. Gomaa, jurnalis al-Jazeera, dituduh menyebarkan kekacauan melalui materi dokumenter tentang dinas militer di Mesir. Meskipun dijadwalkan untuk pembebasan bersyarat pada pertengahan -2019, penahanannya terus diperpanjang dengan tuduhan baru.

3. Mohammad Mosaed (Iran)

Mohammad Mosaed, seorang jurnalis lepas Iran, dijatuhi hukuman hampir lima tahun penjara karena kritiknya terhadap pemerintah dalam menangani Pandemi Covid-19. Dia dituduh “kolusi melawan keamanan nasional” dan “menyebarkan propaganda terhadap sistem.” Selain itu, ia juga dilarang melakukan kegiatan jurnalistik dan menggunakan perangkat komunikasi selama dua tahun.

4. Solafa Magdy (Mesir)

Solafa Magdy, seorang jurnalis lepas, mengalami penelantaran medis dan kondisi penjara yang tidak manusiawi selama masa penahanan praperadilannya. Dia telah ditahan sejak November 2019 karena meliput masalah imigrasi dan hak asasi manusia di Kairo.

5. Zhang Zhan (Cina)

Zhang Zhan, seorang jurnalis independen yang melaporkan situasi Covid-19 di Wuhan, dipenjara dengan tuduhan “memicu pertengkaran dan masalah yang memprovokasi.” Zhang akhirnya melakukan mogok makan selama enam bulan sebagai bentuk protes terhadap penahanannya.

Baca juga: Legislator: Selidiki dugaan teror tempo demi menegakkan kebebasan pers

6. Wan Noor Hayati Wan Alias ​​(Malaysia)

Wan Noor Hayati menghadapi dakwaan hukum karena tiga unggahan Facebook yang terkait dengan COVID-19 dianggap “menyebabkan ketakutan publik.” Dia dijatuhi hukuman dua tahun penjara karena setiap unggahan dan mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan sebagai jurnalis lepas.

7. Hopewell Chin'ono (Zimbabwe)

Hopewell Chin'ono ditangkap karena melaporkan dugaan korupsi dalam pengadaan COVID-19 di Kementerian Kesehatan Zimbabwe. Setelah dibebaskan dengan jaminan, ia kembali ditangkap dengan tuduhan “memblokir keadilan” karena tweetnya.

8. Bárbara Barbosa (Brasil)

Barbosa menderita ancaman ketika meliput pelanggaran aturan penguncian di Florianópolis. Selain itu, ada laporan bahwa Kantor Walikota Rio de Janeiro membayar karyawan untuk memantau dan menghalangi pekerjaan jurnalis.

9. Aleksandr Pichugin (Rusia)

Aleksandr Pichugin didenda $ 3.920 setelah dianggap menyebarkan informasi palsu terkait dengan penanganan COVID-19 oleh Gereja Ortodoks Rusia. Dia ditahan selama satu malam dan perangkat elektroniknya disita selama sebulan.

10. Gautam Navlakha (India)

Gautam Navlakha, seorang aktivis hak asasi manusia dan kolumnis, dituduh memiliki hubungan dengan militan Maois dan terlibat dalam konspirasi pembunuhan Perdana Menteri Narendra Modi.

Baca juga: Komisi III Hukum Pers Diskusikan Aturan Penyiaran dalam persidangan di RKUHAP

Demi kebebasan dan kebenaran

Kasus -kasus ini menjadi pengingat yang kuat bahwa kebebasan pers bukanlah sesuatu yang dapat diabaikan atau dianggap sepele. Di balik setiap berita yang beredar, ada keberanian jurnalis yang bersedia mengambil risiko besar untuk menyampaikan fakta kepada publik.

Di Indonesia saja, kebebasan pers telah dijamin oleh hukum nomor 40 tahun 1999, tetapi dalam kenyataannya tantangan tetap ada, baik dalam bentuk tekanan politik, intimidasi, dan ancaman fisik.

Semoga negara -negara di dunia akan semakin menyadari pentingnya melindungi jurnalis sebagai pilar demokrasi yang mempertahankan keseimbangan kekuasaan. Tidak ada lagi ruang untuk soundships kritis atau penindasan dari mereka yang berjuang untuk kebenaran. Jurnalisme sebenarnya adalah simbol kejujuran dan keberanian yang harus dihormati, tidak ditekan.

Atas nama kebebasan, atas nama orang -orang yang berhak mendapatkan informasi yang jujur ​​dan akurat, setiap individu memiliki tanggung jawab untuk mendukung dan melindungi kebebasan pers.

Mari kita berdiri dengan wartawan yang berani menyuarakan kebenaran tanpa takut akan ancaman atau penindasan. Kebebasan pers adalah kebebasan semua masyarakat – untuk mengetahui, memahami, dan berpikir dengan bebas.

Baca juga: Anggota DPR: Ordo Kepala Kepolisian Nasional untuk Teror Teror untuk Tempo Menjaga Kebebasan Pers

Baca juga: Komisi Rumah Saya Memastikan RUU Penyiaran Tidak mengganggu kebebasan pers

Reporter: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Hak Cipta © antara 2025



Sumber link

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertisement