Biografi Ketua Anwar, Penyair Legendaris Indonesia “Bitch Animal”

Jakarta (Antara) – Ketua Anwar telah lama diingat dalam sejarah sastra dan puisi Indonesia sebagai penyair legendaris.

Dengan puisinya yang indah, penuh kekacauan, dan keberanian, kursi tidak hanya dinamai Pioneer of '45 Force, tetapi juga menjadi sosok perlawanan dan perjuangan masa -masa sulit negara ini.

Jejak kehidupan dan warisan karyanya selalu abadi untuk diingat, bahkan berhasil menginspirasi generasi pecinta sastra nasional ke internasional.

Profil Ketua Anwar

Diluncurkan dari berbagai sumber, Ketua Anwar lahir di Medan, Sumatra Utara, pada 26 Juli 1922. Dia adalah satu -satunya anak dari pasangan Toeloes dan Saleha. Orang tuanya berasal dari Payakumbuh.

Ayahnya mantan Ambteenar (pegawai negeri) di pemerintah Belanda dan bupati Indragiri, Riau pada tahun 1948. Kemudian, pada tahun 1949 ayah Ketua meninggal karena ditembak oleh Belanda selama tindakan polisi Belanda di Rengat.

Diketahui, Ketua juga masih memiliki kerabat keluarga dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia pada tahun 1945.

Ketua memulai pendidikannya di sekolah dasar Sekolah Hollandsch-Inlandsche (Nya), setelah itu berlanjut ke sekolah menengah pertama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (Mulo) di Medan. Kemudian, pindah ke Mulo di Jakarta ke kelas dua.

Meskipun Ketua tidak menyelesaikan pendidikannya dan memiliki latar belakang akademik yang terbatas, ia masih ingin belajar pada usia 18 tahun. Setelah meninggalkan Mulo, Ketua membaca buku tingkat pendidikan Sekolah Burger Hogere atau setara dengan sekolah menengah.

Baca juga: Hari Puisi Nasional 28 April: Sejarah, Makna, dan Pekerjaan Ketua Anwar

Selain itu, Ketua sangat suka membaca karya sastra dunia, seperti karya -karya Rainer Maria Rilke, WH Auden, Archibald Macleish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Karena itu, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman dengan Autodidak.

Setelah orang tuanya bercerai pada tahun 1940, Chairil dan ibunya tinggal di Jakarta. Kemudian, ia mulai mengejar dunia sastra. Pada usia 15 tahun, Chairil memang bercita -cita untuk menjadi seorang seniman.

Debutnya sebagai penyair pada tahun 1942 dengan tulisan puisinya berjudul “Nisan”, yang kemudian diikuti oleh karya -karya lain. Di antara karya-karya populernya seperti “Mata Pencaharian” (1942), “I” (1943), dan “Krawang-Bekasi” (1948).

Puisinya berjudul “I” menjadi sangat populer dan dilahirkan sebagai julukan Chairil sebagai “The Bitch”, yang sampai sekarang tetap melekat padanya.

Melalui penulisan puisinya, kursi sering menyuarakan tema kemerdekaan, sosial-budaya, eksistensialisme, pemberontakan, kematian, untuk mencintai, dengan gaya bahasa yang langsung, tajam, dan roh

Ketua juga dianggap sebagai pelopor puisi kelas '45 dan puisi Modern Indonesia dengan gaya penulisan untuk pengucapan yang sangat baru di negara ini.

Ketua Anwar mencurahkan seluruh hidupnya untuk dunia puisi. Sebagai seorang penyair, ia hanya mengandalkan hasil penulisan puisi untuk memenuhi hidupnya.

Selama Januari-Maret 1948, Chairil telah bekerja sebagai editor di GEMA Magazine Atmosphere. Setelah itu, Chairil mengundurkan diri dan bergabung dengan majalah Siapat sebagai editor manajer rubrik budaya “pusat”.

Baca juga: Mengenali jenis puisi dan elemen yang membentuknya

Selama hidupnya sebagai penulis, Chairil pernah memiliki rencana untuk membuat majalah budaya yang disebut “Tidal Air” dan “Arena”. Sayangnya, rencananya tidak tercapai sampai Chairil meninggal.

Chairil Anwar diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 71 puisi asli, puisi 2 bidikan, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli dan 4 terjemahan prosa.

Warisan karyanya dikumpulkan dalam berbagai buku, seperti “Roar dicampur dengan debu” (1949), “kerikil tajam dan tajam dan patah” (1949), dan “tiga takdir yang tidak ditemukan” (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin, 1950).

Selain menulis puisi, Ketua juga telah menerjemahkan karya -karya penulis internasional seperti karya -karya Rainer Maria Rilke, WH Auden, Archibald Macleish, dan Andre Gide. Ketua juga menerjemahkan puisi “de laatste dag der hollanders op jawa” oleh multatuli dengan judul “The End of Olanda Di Di Javanese”.

Dalam kehidupan pernikahannya, Chairil menikah dengan Hapsah Wiraredja. Namun, pernikahannya tidak bertahan lama dan bercerai pada tahun 1948. Mereka diberkati dengan seorang anak perempuan bernama Evawani Alissa Churi Anwar.

Ketua Anwar meninggal pada 28 April 1949 di Jakarta, pada usia muda 27 tahun. Penyebab kematian diketahui karena menderita tuberkulosis. Ketua meninggal di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo) dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.

Karena karya Ketua Anwar di bidang sastra sangat berpengaruh bagi Indonesia, pemerintah melalui keputusan Menteri Pendidikan dan Budaya No. 071 tahun 1969 menetapkan tanggal kematiannya, yaitu 28 April, sebagai Hari Puisi Nasional untuk memperingati jasanya.

Baca juga: Koleksi Puisi Anwar Ketua: Inspirasi di Hari Puisi Nasional

Baca juga: Buku puisi “lega” memberi tahu kekacauan para siswa

Reporter: Putri Atika Chairulia
Editor: Suryanto
Hak Cipta © antara 2025



Source link

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *