Assalamualaikum wr wb
Tabik Pun!
Gelombang kesaksian mengguncang pasca Pelaksanaan Pemilihan Suara Ulang (PSU). Ratusan warga dari berbagai kecamatan serentak mengaku menerima aliran uang tunai secara langsung menjelang hari pencoblosan. Nominalnya bervariasi, mulai dari Rp50 ribu, Rp100 ribu, hingga Rp200 ribu per orang. Yang lebih mencengangkan, praktik ini bukanlah aksi sporadis, melainkan diduga terkoordinasi rapi, melibatkan jaringan tim sukses pasangan calon nomor urut 02, Nanda – Antonius, bahkan menjalar hingga melibatkan oknum anggota legislatif.
“Ini bukan lagi bisik-bisik, tapi teriakan warga yang merasa kemurnian suaranya dibeli,” ujar seorang aktivis pemantau pemilu setempat. “Uang itu dibagikan langsung ke rumah-rumah, di warung-warung, bahkan di tempat keramaian tertentu oleh orang-orang yang dikenal sebagai bagian dari tim inti paslon 02.”
Praktik yang secara terang-terangan mengubah pemilihan menjadi transaksi dagang ini bukan hanya merusak etika demokrasi, tetapi secara nyata menginjak-injak aturan hukum pemilu yang berlaku. Berikut beberapa pasal kunci dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diduga telah dilanggar secara masif:
Pasal 487:
“(1) Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
o Pelanggaran: Pemberian uang tunai (Rp50.000 – Rp200.000) kepada warga menjelang PSU merupakan bentuk “memberi uang… kepada Pemilih… untuk memilih Peserta Pemilu tertentu” (dalam hal ini Paslon 02). Ini adalah jantung dari tindak pidana politik uang.
Pasal 488:
“Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada Pemilih yang telah menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
o Pelanggaran: Meski uang diberikan sebelum pemungutan suara, esensinya adalah transaksi untuk “membeli” cara memilih tertentu (memilih Paslon 02). Praktik ini jelas dimaksudkan sebagai imbalan agar pemilih memberikan suaranya kepada paslon tertentu.
Pasal 515:
“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 487, Pasal 488… dilakukan oleh atau atas nama Peserta Pemilu, kampanye Peserta Pemilu yang bersangkutan dihentikan dan/atau Peserta Pemilu yang bersangkutan dibatalkan pencalonannya oleh KPU.”
o Konsekuensi Berat: Pasal ini mempertegas bahwa jika pelaku politik uang adalah bagian dari peserta pemilu (termasuk tim suksesnya), konsekuensinya bukan hanya pidana bagi pelaku individu, tetapi berpotensi pada penghentian kampanye atau yang paling signifikan, pembatalan pencalonan oleh KPU. Keterlibatan oknum legislatif yang diduga terkait tim sukses Paslon 02 memperberat dugaan pelanggaran oleh peserta pemilu.
Pasal 522:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye… yang dilakukan dengan memberikan uang atau materi lainnya… dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”
o Pelanggaran: Pemberian uang dalam konteks ini dapat dikategorikan sebagai bentuk kampanye terlarang yang menggunakan pemberian materi (uang).
Dampak dan Konsekuensi Hukum:
Dugaan politik uang yang masif dan terstruktur ini bukanlah pelanggaran biasa. Ia seperti tumor ganas yang menggerogoti legitimasi hasil PSU. Jika bukti-bukti kuat terkumpul dan dapat dibuktikan di hadapan Mahkamah Konstitusi (MK), kemenangan Paslon 02 berisiko tinggi dibatalkan.
• Pembatalan Suara: MK berwenang membatalkan suara-suara yang terbukti diperoleh melalui praktik politik uang di TPS-TPS atau wilayah tertentu.
• Pembatalan Kemenangan: Dalam skala masif dan terorganisir, sangat mungkin MK memutuskan untuk membatalkan secara keseluruhan kemenangan Paslon 02 di PSU tersebut.
• Sanksi Pidana: Pelaku langsung (tim sukses, oknum legislatif, distributor) terancam pidana penjara maksimal 3 tahun dan denda hingga Rp36 juta per pelanggaran (Pasal 487/488). Keterlibatan oknum legislatif juga membuka pintu untuk proses etik di DPRD.
• Sanksi Administratif: KPU dapat memberikan sanksi administratif berat kepada Paslon 02, termasuk potensi pembatalan pencalonan (Pasal 515).
Tuntutan dan Harapan
Bawaslu dan Panwaslu: Segera menginisiasi penyelidikan mendalam dan sistematis. Kesaksian ratusan warga adalah pintu masuk krusial. Pelacakan aliran dana, identifikasi pelaku, dan pengumpulan bukti fisik (seperti catatan pembagian, saksi mata independen) harus dipercepat.
Kepolisian: Wajib menindaklanjuti laporan resmi terkait dugaan tindak pidana pemilu ini secara serius, transparan, dan tanpa tebang pilih. Penyidikan harus menyasar hingga ke aktor intelektual dan sumber dana.
Mahkamah Konstitusi (MK): Harus bersiap memeriksa dengan ketat bukti-bukti politik uang yang akan diajukan jika ada permohonan perselisihan hasil PSU. MK memiliki tugas mulia menjaga kedaulatan rakyat yang tidak ternilai harganya.
Masyarakat: Warga yang menerima uang atau memiliki informasi konkret memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk melapor ke Bawaslu/Kepolisian. Demokrasi hanya kuat jika rakyat berani membela kemurnian suaranya.
Penutup:
Dugaan politik uang masif oleh Paslon 02 Nanda – Antonius dalam PSU ini adalah tamparan keras bagi demokrasi. Ratusan kesaksian dan pola terkoordinasi yang terungkap menunjukkan praktik yang bukan hanya melawan hati nurani, tetapi secara gamblang melanggar Pasal 487, 488, 515, dan 522 UU No. 7 Tahun 2017.
Uang memang berbicara keras, tetapi hukum dan suara rakyat yang jernih harus berbicara lebih keras lagi. Jika bukti-bukti terkuatkan, MK tidak punya pilihan lain kecuali membatalkan kemenangan yang dicemari oleh transaksi gelap ini.
Kemenangan yang dibeli dengan uang adalah kemenangan palsu yang harus diruntuhkan demi menyelamatkan marwah demokrasi kita.
Oleh : Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putegha Jaya Maghga)