Jetstar Asia secara resmi menghentikan operasi 31 Juli 2025, inilah alasannya

JAKARTA (Antara) – Maskapai penerbangan rendah Jetstar Asia secara resmi mengumumkan akan menghentikan semua operasinya pada 31 Juli 2025. Keputusan mengejutkan ini disampaikan pada hari Rabu (11/6), dan segera menarik perhatian publik, terutama di wilayah Asia Tenggara yang menjadi daerah operasional utama maskapai.

Jetstar Asia, yang berbasis di Singapura dan merupakan anak perusahaan dari Australian Qantas Group, harus menghentikan layanan penerbangannya setelah menghadapi berbagai tekanan berat selama beberapa tahun terakhir. Berbagai faktor membantu mendorong maskapai ini untuk menutup operasinya setelah 20 tahun aktif di industri penerbangan regional.

Salah satu penyebab utama kebangkrutan Jetstar Asia adalah tingginya biaya operasional, yang meliputi harga bahan bakar, tarif bandara, dan biaya operasional lainnya. Seiring dengan kenaikan harga minyak global dan biaya logistik, maskapai ini sulit untuk mempertahankan struktur biaya rendah yang merupakan ciri khas maskapai murah.

Selain itu, Jetstar Asia juga menghadapi persaingan yang semakin sengit di pasar Asia Tenggara. Maskapai harus bersaing langsung dengan sejumlah pemain besar di segmen penerbangan rendah, seperti Scoot (anak perusahaan Singapore Airlines), AirAsia dari Malaysia, dan Vietjet dari Vietnam. Tiga maskapai memiliki basis operasional yang luas dan jaringan rute di wilayah Asia.

“Kami sangat bangga dengan tim Jetstar Asia dan pekerjaan luar biasa yang telah mereka lakukan, tetapi tantangan struktural untuk membuat operasi di wilayah ini tidak lagi berlangsung,” kata CEO Qantas Group Vanessa Hudson dalam pernyataan resminya, dikutip dari Reuters pada hari Kamis (12/6).

Baca juga: Citilink memberlakukan diskon pada tarif transportasi nasional

Meskipun telah beroperasi sejak 2004, Jetstar Asia hanya membukukan laba enam tahun dari total dua dekade pekerjaannya. Tahun ini, perusahaan bahkan diperkirakan menanggung kerugian 35 juta dolar Australia atau sekitar Rp369 miliar sebelum bunga dan pajak.

Qantas sebagai bisnis induk juga mencatat kerugian tambahan sekitar 175 juta dolar Australia atau setara dengan Rp1,8 triliun sebagai dampak langsung dari penutupan Jetstar Asia. Dana 500 juta dolar Australia atau RP5,29 triliun yang sebelumnya diperoleh oleh Jetstar Asia akan dialihkan untuk memperkuat bisnis Grup Qantas di Australia dan Selandia Baru.

Dampak ketidakpastian pandemi dan pasar

Kondisi Jetstar Asia mulai memburuk sejak Pandemi Covid-19 pada tahun 2020, yang secara drastis menekan sektor penerbangan global. Maskapai ini harus menangguhkan sejumlah rute dan menghadapi kritik terhadap kebijakan pengembalian dana. Pembatasan perjalanan yang berkepanjangan juga memperburuk beban keuangan maskapai penerbangan, di tengah upaya pemulihan yang tidak stabil.

Meskipun ia telah membuat inovasi dan ekspansi pada periode operasional awal – termasuk maskapai pertama yang menggunakan iPad sebagai perangkat hiburan pada penerbangan – Jetstar Asia tidak berhasil mempertahankan daya saing jangka panjangnya.

Dampak penutupan

Penutupan Jetstar Asia akan berdampak pada lebih dari 500 karyawan dan 16 rute regional yang telah dilayani. Maskapai itu mengatakan akan mengurangi jadwal secara bertahap sampai penghentian penuh pada akhir Juli 2025. Penumpang yang sudah memiliki tiket akan diberikan opsi pengembalian dana penuh atau transfer ke maskapai lain di grup Qantas, jika memungkinkan.

Meskipun operasi berakhir, keberadaan Jetstar Asia selama dua dekade terakhir telah memberikan kontribusi penting dalam pengembangan pasar penerbangan murah di Asia. Kepergiannya pada saat yang sama menandai akhir era di dunia penerbangan rendah di wilayah tersebut.

Baca juga: Jetstar bermitra dengan Turnamen WTA di Asia Pasifik

Baca juga: Maskapai Cina meluncurkan sedan listrik di pasar domestik

Reporter: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Hak Cipta © antara 2025



Sumber link

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *