Sosok Marsinah, seorang pekerja keras yang ditetapkan sebagai pahlawan



Jakarta (ANTARA) – Presiden Prabowo Subianto pada peringatan Hari Pahlawan, Senin (10/11), di Istana Negara Jakarta, resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Marsinah, aktivis buruh yang dikenal berani memperjuangkan hak-hak buruh.

Marsinah dipandang sebagai simbol keberanian buruh dalam menuntut keadilan. Pada masa Orde Baru, buruh seringkali menghadapi kesenjangan sosial dan perlakuan yang opresif, sehingga perjuangan Marsinah menjadi bukti nyata perlawanan terhadap ketidakadilan tersebut.

Penghargaan ini ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 yang menyebutkan ada 10 tokoh yang mendapat gelar Pahlawan Nasional pada tahun ini. Pengakuan ini merupakan bentuk penghormatan terhadap pihak-pihak yang telah berjasa besar dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat, khususnya pekerja.

Lantas, seperti apa Marsinah yang kini diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo? Berikut profil singkat yang dirangkum dari berbagai sumber terpercaya.

Profil Marsinah

Latar belakang dan pendidikan

Marsinah dikenal sebagai wanita berjiwa kuat, lahir pada 10 April 1969 di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Nganjuk, Jawa Timur. Sejak kecil ia dibesarkan dalam keluarga sederhana dan diasuh oleh nenek dan bibinya. Meski hidup pas-pasan, ia dikenal gigih dan tidak mudah menyerah.

Dia adalah anak kedua dari tiga bersaudara, putri dari pasangan Mastin dan Sumini. Untuk membantu menunjang perekonomian keluarga, sebagian besar masa kecilnya dihabiskan dengan berjualan makanan ringan. Sikap mandiri dan pekerja kerasnya sudah terlihat sejak kecil.

Ia menempuh pendidikan dasar di SD Negeri Karangasem 189, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 5 Nganjuk. Setelah itu ia belajar di Pondok Pesantren Muhammadiyah. Namun mimpinya untuk melanjutkan studi harus terhenti karena kendala keuangan yang dihadapi keluarganya.

Tersesat dan mulai bekerja

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Marsinah memutuskan merantau ke Surabaya pada tahun 1989. Dengan tekad yang kuat, ia tinggal di rumah adiknya, Marsini, sambil mencari pekerjaan. Setelah mengirimkan lamaran ke berbagai perusahaan, ia bekerja di pabrik plastik SKW di kawasan industri Rungkut.

Tahun berikutnya, 1990, ia diterima bekerja di PT Catur Putra Surya (CPS), sebuah pabrik jam tangan yang berlokasi di Porong. Di sinilah kesadaran Marsinah terhadap hak-hak pekerja mulai tumbuh semakin kuat. Ia melihat langsung ketidakadilan yang dialami rekan-rekan sekerjanya.

Perjuangan untuk keadilan

Pada tahun 1993, Gubernur Jawa Timur saat itu, Soelarso, mengeluarkan Surat Edaran Nomor 50/Th.1992 tentang kenaikan upah buruh sebesar 20 persen. Namun PT CPS enggan menerapkan kebijakan tersebut. Hal ini memicu kekecewaan buruh dan kemudian menimbulkan protes.

Pada tanggal 3–4 Mei 1993, Marsinah dan 12 pekerja lainnya berada di garis depan pemogokan. Mereka menuntut kenaikan upah dan meminta SPSI di tingkat pabrik dibubarkan karena dianggap tidak memperjuangkan kepentingan buruh. Tindakan ini berhasil; 11 dari 12 tuntutan mereka disetujui oleh manajemen.

Namun keadaan berubah drastis ketika keesokan harinya, 13 buruh dipanggil ke Kodim Sidoarjo dan dipaksa menandatangani surat pengunduran diri. Mengetahui hal tersebut, Marsinah berusaha mencari keadilan dengan mendatangi Kodim untuk meminta salinan surat tersebut, berharap nasib rekannya itu bisa diperjelas.

Penemuan jenazah Marsinah

Usai memperjuangkan nasib rekan-rekannya, Marsinah menghilang. Pada tanggal 8 Mei 1993, tersiar kabar mengejutkan bahwa ia ditemukan tewas di sebuah gubuk di Desa Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk. Tubuhnya dipenuhi luka dan bekas penyiksaan, menyiratkan kekerasan yang sangat kejam.

Kasus ini menghebohkan masyarakat Indonesia dan menjadi simbol penindasan kejam terhadap buruh pada masa Orde Baru. Penyelidikan memakan waktu lama, namun fakta pelaku dan motif sebenarnya tak kunjung terungkap.

Dianugerahi gelar Pahlawan Nasional

Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Marsinah menegaskan perjuangannya tidak sia-sia. Ia dikenang sebagai sosok yang berani menyuarakan hak-hak pekerja dan menolak tunduk pada ketidakadilan di dunia kerja.

Meski hingga saat ini misteri pembunuhannya belum terkuak, namun peristiwa tragis tersebut menjadi catatan penting dalam sejarah pelanggaran HAM di Indonesia. Nama Marsinah terus hidup menjadi inspirasi para buruh untuk memperjuangkan harkat dan haknya.

Baca juga: KSPI: Gelar pahlawan bagi Marsinah adalah pengakuan negara terhadap buruh

Baca juga: Nama Marsinah diabadikan sebagai ruang layanan HAM di Kementerian HAM

Baca juga: Adik Marsinah bangga Kapolri peduli terhadap buruh

Reporter: Sean Anggiatheda Sitorus
Redaktur: Alviansyah Pasaribu
Hak Cipta © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, crawling, atau pengindeksan otomatis AI pada situs ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.



Sumber link

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *