Ini adalah isi dari keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai gugatan pengujian material tapera yang diberikan

Jakarta (Antara) – Pengadilan Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa keanggotaan tabungan perumahan publik (TAPERA) tidak lagi menjadi kewajiban setelah pemberian tinjauan yudisial atas hukum nomor 4 2016 mengenai tabungan perumahan publik (hukum Tapera) pada hari Senin (29/9).

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa hukum Tapera bertentangan dengan Konstitusi atau tidak konstitusional dan harus direorganisasi dalam maksimal dua tahun dari keputusan tersebut.

Keputusan ini muncul setelah ada tiga kasus uji kasus yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Pertama, nomor kasus 86/puu-xxii/2024 diajukan oleh aktor UMKM Ricky Donny Lamhot Marpaung dan karyawan swasta Leonardo Olefins Haminangan.

Kemudian, nomor kasus 96/PUU-XXII/2024 yang diminta oleh Dewan Eksekutif Nasional Konfederasi semua serikat buruh Indonesia (KSBSI), dan nomor kasus 134/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh sebelas serikat pekerja perdagangan, termasuk Federasi Uni Nasional.

Secara umum, para pemohon dalam tiga kasus di atas kedua mempertanyakan konstitusionalitas norma Pasal 7 paragraf (1), pasal 9 paragraf (1), dan pasal 72 paragraf (1) hukum Tapera.

Pasal 7 paragraf (1) menetapkan bahwa setiap pekerja dan pekerja independen yang mendapatkan setidaknya upah minimum harus menjadi peserta Tapera. Para pemohon meminta norma artikel diubah menjadi pilihan, bukan kewajiban.

Pasal 9 paragraf (1) membaca “pekerja sebagaimana disebut dalam Pasal 7 paragraf (1) harus didaftarkan oleh majikan”. Para pemohon juga mempertanyakan sifat kewajiban norma -norma artikel ini.

Baca juga: MK: Undang -undang Tapera Incstitutional dan harus kembali dalam 2 tahun

Sementara itu, Pasal 72 Paragraf (1) menetapkan bahwa peserta, pengusaha, kepada BP Tapera yang melanggar ketentuan, termasuk pasal 7 paragraf (1) dan pasal 9 paragraf (1) dapat dikenakan sanksi administratif. Pelamar meminta agar artikel tersebut dicabut.

Berikut ini adalah isi dari keputusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan tes material hukum Tapera dan penjelasannya untuk didengarkan.

Pasal 7 Paragraf (1) Undang -undang Tapera menentukan kewajiban untuk setiap pekerja dan pekerja independen yang mendapatkan bahwa setidaknya upah minimum harus menjadi peserta Tapera.

Pasal 7 Paragraf (1) Hukum Tapera adalah semangat yang menjiwai seluruh norma dalam hukum Tapera karena esensinya untuk mobilisasi dana dengan membuahi dana dari peserta, dalam hal ini pekerja, sehingga disebut sebagai “artikel jantung”.

Oleh karena itu, jika ada perubahan norma dalam artikel, seluruh mekanisme Tapera kehilangan logika normatifnya. Mahkamah Konstitusi juga memutuskan Paragraf Pasal 7 (1) hukum Tapera dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi sehingga sejumlah artikel derivatif juga harus dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi Republik Indonesia 1945.

Terkait dengan Pasal 7 Paragraf (1) Hukum Tapera, Pengadilan Konstitusional dalam pertimbangannya menilai penyematan istilah “tabungan” dalam program Tapera yang merupakan akronim untuk penghematan perumahan orang telah menggeser makna konsep tabungan yang sebenarnya sukarela menjadi pungutan paksa seperti yang diperdebatkan oleh pemohon.

Selain itu, Tapera juga tidak termasuk dalam kategori pungutan koersif lainnya sebagai Pasal 23A Konstitusi Republik Indonesia 1945 atau dalam kategori “pungutan resmi lainnya” yang ditentukan oleh undang-undang, seperti pungutan, bea impor, cukai, dan pendapatan non-pajak (PNBP).

Sebagai pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi juga menilai bahwa norma ayat Pasal 7 (1) dari undang -undang Tapera menggeser peran negara sebagai “penjamin” untuk memenuhi kebutuhan warga negara untuk tempat tinggal yang layak dan terjangkau untuk “kontribusi” dari warganya karena norma -norma ini mengharuskan setiap pekerja, termasuk pekerja independen yang mendapatkan setidaknya upah minimum untuk menjadi portir taper.

Baca juga: Menkum: Revisi Hukum Tapera berdampak pada keputusan Mahkamah Konstitusi untuk dibahas dengan hukum perumahan

Mahkamah Konstitusi juga menganggap bahwa keberadaan Tapera sebagai kewajiban, terutama yang disertai dengan sanksi, tidak hanya tumpang tindih (tumpang tindih), tetapi juga memiliki potensi untuk menyebabkan beban ganda, terutama bagi kelompok pekerja yang telah berkontribusi pada skema jaminan sosial lainnya yang ada.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa ada Program Asuransi Usia Lama (JHT) sehingga pekerja yang berpartisipasi dalam JHT awalnya dapat mengakses manfaat pembiayaan perumahan yang dimasukkan dalam program ini, tanpa harus dibebani dengan kontribusi tambahan lainnya.

Mahkamah Konstitusi menilai ketentuan paragraf Pasal 7 (1) dari undang -undang Tapera yang mengharuskan pekerja untuk mengesampingkan pendapatan mereka untuk tujuan yang relatif sama dengan skema JHT pada akhirnya mengarah pada duplikasi program dan peraturan yang tumpang tindih.

Kewajiban untuk menyetor Tapera juga mengakibatkan pekerja dibebani dengan kontribusi ganda yang awalnya dapat digunakan untuk memenuhi kehidupan pekerja sehari -hari, misalnya kontribusi kesehatan BPJS untuk pekerjaan BPJ dari program JHT.

Mahkamah Konstitusi juga menilai bahwa sifat “wajib” dalam pasal 7 paragraf (1) hukum Tapera diterapkan tanpa membedakan pekerja yang sudah memiliki rumah atau belum menyebabkan perlakuan yang tidak proporsional.

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusional menganggap bahwa Tapera dibentuk dengan konsep “tabungan”, tetapi hasil akhirnya hanyalah pengembalian uang setoran pada akhir masa keanggotaan atau pensiun. Skema semacam itu secara inheren tidak dapat memenuhi tujuan utama, yaitu memberikan akses kepada orang -orang untuk memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi para peserta.

Oleh karena itu, pembentukan undang -undang harus mengatur ulang desain pemenuhan hak atas DPR dengan mengembangkan konsep perumahan, salah satunya adalah perumahan umum pusat untuk menyelesaikan masalah lahan perkotaan terbatas dan menyediakan tempat tinggal bagi MBR sebagai bagian dari sistem nasional sistem perumahan umum yang masif, terjangkau, dan berkelanjutan.

Pembentukan undang -undang perlu mengurus sistem pendanaan dan pembiayaan perumahan dari peraturan yang mengharuskannya menjadi pilihan bagi pengusaha, pekerja, termasuk pekerja independen sesuai dengan prinsip -prinsip keadilan sosial, perlindungan kelompok yang rentan, dan kesesuaian dengan peraturan hukum dan hak konstitusional warga yang dijamin dalam konstitusi 1945.

Karena pasal 7 paragraf (1) dari hukum Tapera adalah artikel hati yang telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia 1945, tidak ada keraguan bagi pengadilan konstitusional untuk menyatakan hukum Tapera secara keseluruhan harus dinyatakan bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia tahun 1945.

Dengan kata lain, pengadilan konstitusional melalui keputusan ini membatalkan hukum Tapera. Untuk menghindari kekosongan hukum, Mahkamah Konstitusi memberikan masa tenggang untuk membentuk undang -undang untuk mengatur ulang peraturan tentang sistem pendanaan dan pembiayaan perumahan selambat -lambatnya dua tahun setelah keputusan dikeluarkan.

Baca juga: BP Tapera siap berkoordinasi dengan kementerian PKP setelah keputusan Mahkamah Konstitusi

Baca juga: MK: Undang -undang Tapera Incstitutional dan harus kembali dalam 2 tahun

Reporter: Melalusa SusThira Khalida
Editor: Suryanto
Hak Cipta © antara 2025

Dilarang secara ketat untuk mengambil konten, melakukan merangkak atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari kantor berita Antara.



Sumber link

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *