Sanksi hukum untuk hakim suap menurut hukum

Jakarta (Antara) – Kasus menerima suap di antara hakim -hakim itu marak dalam sistem peradilan di Indonesia. Salah satunya seperti kasus suap untuk kasus ekspor Minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang menjerat ketua Pengadilan Distrik Jakarta Selatan (PN), Muhammad Arif Nuryanta dan tiga hakim lainnya.

Bahkan, kasus ini menambahkan daftar panjang praktik korupsi di lembaga peradilan. Berdasarkan pemantauan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa dari 2011 hingga 2024, ada 29 hakim yang disebut sebagai tersangka korupsi dengan total nilai suap sekitar Rp107 miliar.

Advertisement

Tindakan -tindakan ini tidak hanya merusak integritas lembaga peradilan, tetapi juga menodai kepercayaan publik terhadap hukum negara.

Baca juga: MA Bentuk Gugus Tugas Evaluasi Hakim Setelah Penyuapan Keterangan Korupsi CPO

Hukuman untuk hakim suap menurut hukum

Sanksi hukum terhadap hakim yang menerima suap telah diatur dalam artikel dalam hukum yang berlaku.

Di antara mereka dalam hukum nomor 31 tahun 1999, diubah oleh hukum nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan kejahatan korupsi (hukum korupsi), hakim yang menerima suap terancam dengan berbagai hukuman.

Pasal 12 menyatakan bahwa pegawai negeri atau administrator negara yang menerima hadiah atau janji, meskipun diketahui atau harus dicurigai bahwa hadiah atau janji diberikan untuk mempengaruhi keputusan kasus yang diserahkan kepadanya untuk diadili.

Hakim akan dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun, serta denda setidaknya RP. 200 juta dan maksimum RP1 miliar.

Selain itu, Pasal 11 Undang -Undang Korupsi juga menetapkan bahwa pegawai negeri atau administrator negara yang menerima hadiah atau janji, meskipun mereka diketahui atau harus dicurigai bahwa hadiah atau janji diberikan karena kekuasaan atau wewenang yang terkait dengan posisi mereka, akan dihukum dengan penjara minimum 1 tahun dan maksimal 5 tahun, serta denda setidaknya jutaan RP50 dan maksimum 10 tahun.

Baca juga: Lalu: Kasus hakim penyuapan tindakan pribadi, bukan institusional

Hakim yang menerima suap juga telah melanggar Kode Etik untuk perilaku tidak jujur ​​dan akan diperiksa oleh Mahkamah Agung atau Komisi Peradilan.

Pelanggaran ini juga dapat dijatuhkan sanksi lain selain hukuman penjara dan denda, termasuk penundaan promosi sampai pemecatan tetap tidak sopan. Ini diatur dalam hukum nomor 18 tahun 2011 tentang amandemen terhadap hukum nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Dalam hal ini, Mahkamah Agung akan menjatuhkan sanksi pada hakim penyuapan, berdasarkan proposal Komisi Peradilan, dengan batas waktu penyelesaian maksimum 60 hari dari proposal yang diterima.

Jika seorang hakim terbukti menerima suap dan memengaruhi keputusan pengadilan, para pihak dalam kasus pidana memiliki hak untuk mengambil tindakan hukum melalui banding, cassation, atau peninjauan.

Dalam kondisi ini, keputusan hakim yang menerima suap karena faktor -faktor kepentingan mereka sendiri, dinyatakan sebagai keputusan pengadilan yang tidak valid. Ini dijelaskan dalam undang -undang kekuasaan hakim dalam Pasal 17 Paragraf 5 dan 6.

Secara umum, itulah sanksi hukum yang berlaku untuk hakim yang menerima suap. Dengan aturan hukum yang berlaku, diharapkan dapat direalisasikan sehingga dapat menyebabkan efek pencegahan, memperkuat integritas peradilan, dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum negara.

Baca juga: KY mengeksplorasi pelanggaran Kode Etik Hakim tentang Keputusan Kasus CPO

Baca juga: Komisi III disinggung dengan kesejahteraan tanggapan hakim terhadap kasus penyuapan Pengadilan Distrik Jakarta Tengah

Reporter: Putri Atika Chairulia
Editor: Suryanto
Hak Cipta © antara 2025



Sumber link

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertisement